Kamis, 27 Januari 2011

MULTIPARADIGMA DALAM SOSIOLOGI


SDN.001 PLUS PANGKALAN BUNUT  KECAMATAN BUNUT



OLEH : JHON HERMAN 
"Mo lah Kito bangun kampung kito samo-samo jangan kito bepocah bolah tekad kato seiyo besamo untuk mewujudkan kampung kito, anak cucu kito sebagai generasi siap tampil dan menjadi tuan umah di kampungnyo sendii. jadikan bunut ko kota Pendidikan sesuai cita-cita kito besamo."

PENDAHULUAN
          Beberapa pertanyaan akan muncul ketika kita hendak mempelajari serta memperdalam suatu ilmu. Pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah sosiologi itu? bagaimana latar belakang munculnya sosiologi sebagai sebuah ilmu? apa manfaat mempelajari sosiologi? akan mengganggu siapa saja yang baru pertama kali belajar sosiologi. Hal ini sangat mudah dipahami karena pemahaman masyarakat tentang sosiologi belum sejelas pemahaman masyarakat tentang disiplin-disiplin lain seperti ekonomi, hukum, fisika, atau kedokteran.    
          Munculnya sosiologi sebagai sebuah ilmu, selain merupakan hasil dari proses empiricall-historis, juga merupakan hasil dari proses perkembangan pemikiran filosofis. Fenomena empiris yang melatarbelakangi situasi sosial-politik di Eropa Barat pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18 sangat mempengaruhi berkembangnya pemikiran-pemikiran sosiologis pada saat itu, dan menjadi landasan berpikir bagi pengembangan konsep serta teori pada masa-masa selanjutnya. Seiring dengan kondisi historis yang berubah, perkembangan pemikiran sosiologi didorong pula oleh munculnya pandangan-pandangan filosofis tentang positivisme, yaitu mencari penjelasan semua gejala alam dan sosial dengan mengacu pada deskripsi dan hukum ilmiah.
          Penjelasan yang bersifat historis dan filosofis, selanjutnya akan mengantarkan pada pemahaman tentang subject-matter atau pokok bahasan sosiologi yang membedakan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, dan dengan demikian akan memberikan jawaban tentang hakekat dari sosiologi. Kompleksitas permasalahan yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran sosiologi telah memberikan sumbangan yang besar bagi keragaman cara pandang, sehingga sosiologi lalu dinyatakan sebagai ilmu dengan paradigma majemuk (’a multiple paradigm science’).

MUNCULNYA SOSIOLOGI SEBAGAI SEBUAH ILMU
          Menurut Berger dan Berger, pemikiran sosiologi berkembang ketika masyarakat menghadapi ’ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap benar dan seharusnya, yang menjadi pegangan manusia’ (threats to the taken-for-granted world). Maksudnya yaitu, suatu keadaan masyarakat dimana tatanan sosial (’social order’) yang diyakini oleh sebagian besar anggota masyarakat terancam oleh berbagai bentuk perubahan.
          Sampai abad ke-18 Eropa Barat didominasi oleh sistem feodalisme yang sangat elitis dan mapan. Perkembangan yang terjadi kemudian, mengikuti tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, adalah munculnya kesadaran bahwa dominasi feodalisme sangat menghambat perkembangan kelompok intelektual serta kelas menengah. Bangkitnya kelas menengah mewarnai sebuah proses perubahan jangka panjang, seperti tumbuhnya kapitalisme, perubahan-perubahan sosial dan politik, meningkatnya individualisme, serta lahirnya ilmu pengetahuan modern.  Dua revolusi penting pada abad ke-18, yang bisa diidentifikasi ialah (1) Revolusi Industri, (2) Revolusi Perancis (Laeyendecker, 1983:11-43).
          Gejolak sosial dan politik yang terjadi pada masa itu telah menggoncang masyarakat Eropa, serta menggoyahkan tatanan sosial yang lama mapan. Faktor ini merupakan penyebab utama mengapa pemikiran sosiologi mulai berkembang secara serentak di beberapa negara Eropa (Inggris, Perancis, Jerman), dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, yaitu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Pada masa-masa inilah peran para tokoh sosiologi klasik berawal.
          Terganggunya tatanan sosial serta perubahan-perubahan mendasar pada tataran suprastruktur mendorong para pemikir dan intelektual pada saat itu untuk mencari jawaban-jawaban yang rasional, serta menemukan formula yang mampu menguraikan semua gejala sosial yang muncul. Lahirlah kemudian pemikiran-pemikiran cemerlang tentang masyarakat, perubahan sosial serta konflik sosial dari tokoh-tokoh seperti, Auguste Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903), Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920). Mereka ini kemudian diakui oleh para tokoh sosiologi abad 20 (tokoh sosiologi modern) sebagai perintis awal serta peletak dasar pemikiran sosiologi, sebagai ’the founding fathers’, dan oleh Lewis Coser dianggap sebagai ’masters of sociological thought’, yang memberikan sumbangan penting bagi lahir dan berkembangnya sosiologi sebagai sebuah ilmu.
          Nama ”sosiologi” merupakan ciptaan Auguste Comte. Pemikiran filsafat Comte memberikan sumbangan penting bagi sosiologi, dan mendorong perkembangan sosiologi. Pemikiran filosofis Comte ini diutarakan dalam bukunya yang terkenal : ’Course de Philosophie Positive’. Dalam buku ini mengemukakan pandangannya mengenai hukum kemajuan manusia dan masyarakat yang melewati tiga tahap atau jenjang. Tahap pertama adalah teologi, yaitu manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati atau supranatural. Tahap kedua adalah metafisika, yaitu manusia mengacu pada kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ketiga, atau yang tertinggi, adalah tahap positif, yaitu manusia mencari penjelasan gejala alam maupun sosial dengan mangacu pada deskripsi ilmiah.    
          Positivisme atau filsafat positif inilah yang menjadi landasan filsafat bagi munculnya sosiologi pada masa itu. Karena memperkenalkan metode positif ini maka Comte dikenal sebagai perintis positivisme. Pada pandangan Comte, sosiologi harus merupakan ilmu yang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam yang mendahuluinya. Dengan kata lain sosiologi harus menjadi sebuah ilmu yang positif. Ciri metode positif atau metode yang mendasarkan pada cara berpikir ilmiah, adalah bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus bermanfaat, serta mengarah pada kepastian dan kecermatan. Sarana yang menurut Comte harus digunakan dalam metode positif adalah :1) pengamatan, 2) perbandingan, 3) eksperimen, 4) metode historis. Penjelasan-penjelasan tentang hubungan antar manusia atau gejala-gejala masyarakat harus melalui rasionalisasi yang positif. Kegiatan kajian sosiologi yang tidak menggunakan metode pengamatan, perbandingan, eksperimen, ataupun historis bukanlah merupakan kajian ilmiah melainkan hanya renungan atau permainan ide belaka.
          Auguste Comte memang mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat positifnya, sebagai orang pertama yang mengusulkan nama ’sosiologi’ untuk keseluruhan pengetahuan manusia tentang kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, Emile Durkheim menempati posisi yang sangat penting dalam mengembangkan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Peranan Durkheim yang terpenting adalah pada usahanya dalam merumuskan obyek studi sosiologi, dan memberikan rumusan-rumusan penting dalam metode untuk mendekati dan mengamati obyek studi.
          Pandangan Comte yang masih abstrak tentang filsafat positif kemudian diperjelas dan dikuatkan oleh Durkheim dengan meletakkan sosiologi di atas dunia empiris. Dua karyanya yang besar dan berpengaruh adalah Suicide (1968) dan The Rule of Sociological Method (1965). Suicide adalah hasil karya Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial. Melalui karya ini Durkheim menegaskan bahwa obyek studi sosiologi adalah fakta sosial (social fact), yang untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan The Rule of Sociological Method berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi.

POKOK BAHASAN DALAM SOSIOLOGI
          Setelah memahami peran tokoh-tokoh perintis sosiologi didalam membangun pemikiran-pemikiran ilmiah tentang masyarakat, dan memahami  keberadaan sosiologi sebagai sebuah ilmu, maka seorang pelajar sosiologi mutlak dituntut pula untuk membangun pemahaman tentang ruang lingkup serta pokok bahasan sosiologi.
          Istilah sosiologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani socius (kawan) dan logos (ilmu), lalu dinyatakan bahwa obyek formal sosiologi adalah hubungan antar orang. Dalam kaitan dengan ini, sosiologi kemudian mempelajari pelbagai bentuk relasi sosial yang mempengaruhi tindakan manusia. Dalam banyak literatur, istilah sosiologi didefinisikan hanya dengan rumusan kalimat yang pendek, sehingga kurang dimengerti bagi orang yang baru mempelajarinya, atau dengan uraian yang sangat panjang sehingga substansinya menjadi sulit dirumuskan.
          Pengertian sosiologi sering juga dikacaukan dengan pekerjaan sosial (social worker). Banyak orang tertarik belajar sosiologi karena mereka ingin tahu banyak tentang masyarakat. Mereka ingin bekerja untuk masyarakat, ingin membantu memecahkan persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat atau terjun dalam suatu profesi khusus yang lazim disebut pekerja sosial. Sebenarnya sosiologi tidak dapat secara langsung menjawab kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dalam arti tidak mempersiapkan secara khusus profesi sebagai penyuluh atau counselling, atau membantu memecahkan persoalan-persoalan pribadi. Namun demikian bukan berarti sosiologi tidak mempunyai kontribusi dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan semacam itu. Sosiologi telah membangun banyak teori yang berpijak pada asumsi-asumsi dasar dan perspektif tertentu, serta memiliki metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat evaluasi, interpretasi dan bahkan juga prediksi.
          Perhatian sosiologi terhadap fenomena sosial yang terjadi tidak semata-mata membuat deskripsi, atau merentang perbedaan dan persamaan karakteristik fenomena sosial yang berkembang, akan tetapi juga memperlihatkan tendensi-tendensi atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Sosiologi mampu menerangkan dan menafsirkan apa yang ada di balik fenomena sosial tersebut berdasarkan teori atau penelitian, dan tidak memberikan penilaian berdasarkan baik dan buruk pada sebuah tindakan sosial. Sehingga, tindakan sosial tertentu yang bagi orang awam terasa aneh, tidak wajar atau menyimpang, melalui sosiologi dapat menjadi sesuatu yang menarik, dan dapat ditelusuri pangkal-tolak kemunculannya dengan menggunakan berbagai sudut pandang. Hal ini merupakan bukti obyektivitas  sosiologi sebagai sebuah ilmu.
          Secara formal tentunya tetap dibutuhkan sebuah definisi yang komprehensif tentang apa yang menjadi pokok bahasan dalam sosiologi. Beberapa contoh definisi sosiologi adalah, kajian ilmiah tentang man’s social life (kehidupan sosial), atau tentang human relationships and their consequences (hubungan antar orang dan konsekuensi-konsekuensinya), dan juga tentang social behaviour (tindakan sosial). Tentunya semua definisi ini benar adanya, namun kerapkali dianggap  kurang rinci dan masih belum mampu membedakan sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tidak mudahnya menarik definisi sebuah disiplin ilmu kemasyarakatan, dalam hal ini sosiologi, bisa dipahami karena, pertama, apa yang ditangkap dan dikonstruksi oleh seorang ahli tentang disiplin tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan fokus perhatiannya ketika itu; yang kedua, begitu banyaknya faktor yang berperan dan berubah pada masalah sosial yang tumbuh dalam masyarakat sehingga orientasi pokok kajian sebuah disiplin menjadi sulit diselaraskan.
          Water dan Crook menyatakan (Sunyoto Usman, 2004:hal 6-7) bahwa : “Sociology is the systematic analysis of the structure of social behaviour” (sosiologi adalah analisis yang sistematis tentang struktur tindakan sosial). Dalam definisi ini terdapat sedikitnya empat elemen penting. Pertama, pokok kajian adalah tindakan sosial, dan bukan tindakan individual. Tindakan sosial berarti tindakan yang diorientasikan pada orang lain, mempunyai konsekuensi bagi orang lain, atau merupakan akibat dari tindakan orang lain (ada hubungan timbal balik). Kedua, tindakan sosial yang dipelajari adalah tindakan yang berstruktur. Struktur disini berarti pola atau regulasi. Oleh karena itu analisis sosiologi dapat mengidentifikasi akar, proses, dan implikasi dari tindakan sosial yang diamati. Dalam konteks ini, sosiologi bukanlah semata-mata memberikan penjelasan deskriptif, tetapi berusaha memahami kaitan antara elemen-elemen tindakan sosial. Ketiga, penjelasan sosiologi bersifat analitis. Ini berarti bahwa dalam menjelaskan tindakan sosial, sosiologi berlandaskan pada prinsip-prinsip teori dan metodologi penelitian tertentu (scientific thought), dan bukan berdasarkan konsensus-konsensus yang hanya berlaku khusus (common sense). Keempat, penjelasan sosiologi adalah sistematis, artinya dalam memahami tindakan sosial sosiologi menempatkan diri sebagai disiplin yang mengikuti aturan-aturan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
          Beberapa diskusi mengenai pokok bahasan sosiologi memberi gambaran bahwa ternyata cakupan dan ruang lingkup perhatian sosiologi cukup luas, meliputi mikrososiologi dan makrososiologi (menurut Inkeles, dalam Kamanto Sunarto:2004,hal.18-21). Mikrososiologi disebut juga sebagai ’the sociology of everyday life situation’, atau sosiologi kehidupan sehari-hari, yang mengkhususkan diri pada fenomena antar individu disaat mereka berinteraksi tatap muka, bertindak dan berkomunikasi. Sedangkan makrososiologi disebut sebagai the ’sociology of social structures’ atau sosiologi struktur sosial, yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan serta hubungan antar bagian dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang melebihi kumpulan individu yang membentuknya. Diantara mikrososiologi dan makrososiologi, ada lingkup pokok bahasan yang disebut mesososiologi yang lebih menekankan pada institusi sosial. Dengan demikian Alex Inkeles menyatakan bahwa sosiologi memiliki tiga pokok bahasan yang khas, yaitu hubungan sosial, institusi, dan masyarakat.
         
MEMAHAMI PARADIGMA DALAM SOSIOLOGI
          Mempelajari pokok kajian sosiologi tidaklah lengkap jika   mengabaikan sebuah konsep yang disebut sebagai paradigma. Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962). Karya Thomas Kuhn menempati posisi sentral ditengah-tengah perkembangan sosiologi selama kurang lebih dua dekade terakhir ini. Melalui karyanya, Kuhn menawarkan suatu cara yang bermanfaat kepada para sosiolog untuk mempelajari ilmu mereka.
          Robert Friedrichs adalah orang pertama yang mencoba merumuskan pengertian paradigma itu secara lebih jelas. Dalam upayanya menganalisa perkembangan sosiologi, ia merumuskan paradigma sebagai ”a fundamental image of the subject matter within a science” (Ritzer, 1985:7), yaitu “gambaran dasar mengenai pokok bahasan suatu ilmu”. George Ritzer mensintesakan pengertian semua pandangan tentang paradigma, dan merumuskannya secara lebih terrinci. Penjelasan Ritzer tentang paradigma : “…serves to define what should be studied, what questions should be asked, how they should be asked, and what rules should be followed in interpreting the answers obtained…”, yaitu paradigma menentukan masalah apa yang akan diteliti, pertanyaan penelitian yang akan diajukannya, caranya mengajukan pertanyaan penelitian, dan aturan yang diikutinya dalam menafsirkan temuan penelitiannya.
          Lebih lengkapnya, definisi paradigma menurut Ritzer, adalah sebagai berikut ”Suatu paradigma merupakan suatu gambaran fundamental mengenai pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma membantu memberikan definisi apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh”. Paradigma merupakan satuan konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan, mendefinisikan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi tentang paradigma : (a) gambaran fundamental mengenai pokok permasalahan; (b) metode/instrumen yang mencakup teknik bertanya dan cara menginterpretasi data yang diperoleh; (c) teori yang mencakup interpretasi; (d) eksemplar; (e) komunitas atau subkomunitas ilmiah.
          Mengapa gambaran fundamental mengenai pokok permasalahan dalam sosiologi merupakan komponen yang harus ada dalam satu paradigma?. Gambaran fundamental dalam hal ini sama artinya dengan hakekat pokok atau mengenai apa permasalahan itu. Kalau masyarakat atau individu atau hubungan antara individu dan masyarakat itu yang menjadi pokok permasalahan dalam sosiologi, apa hakekatnya. Kalau hakekat masyarakat itu adalah obyek, seperti benda alam, sangat berbeda daripada kalau hakekatnya adalah subyek. Konsekuensi dari perbedaan itu akan mempengaruhi seluruh kegiatan ilmiah pembentukan teori sosiologi.
          Jika masyarakat dilihat sebagai obyek, seperti halnya obyek dalam ilmu alam, maka perbedaan antara satu obyek dengan obyek lainnya yang berada dalam kategori yang sama tidak ada. Karena tidak ada perbedaan hakiki, maka metode sampling dalam penelitian dapat digunakan, dan hasilnya sahih (valid) serta terpercaya (reliable) dalam generalisasinya. Karena itu pula teori yang dihasilkan penelitian seperti ini amat luas cakupan generalisasinya. Sebaliknya, apabila hakekat pokok permasalahan sosiologi adalah subyek, maka konsekuensinya akan berlainan pula. Perbedaan antara individu sangat diperhitungkan. Individu merupakan subyek yang otonom menentukan apa yang dikerjakannya, memiliki perasaan dan jalan pikirannya sendiri, dan tidak begitu saja tunduk pada individu lain.
          Dalam sejarah perkembangan sosiologi atau ilmu sosial, sekurang-kurangnya seperti apa yang dimaksudkan Ritzer dalam penjelasannya mengenai paradigma, sudah ada sejumlah contoh penelitian yang memiliki standar baku, sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab teka-teki ilmu pengetahuan yang oleh Thomas Kuhn disebut sebagai eksemplar. Eksemplar yang diambil oleh Ritzer berasal dari karya Emile Durkheim, Max Weber dan B.F.Skinner.
          Sosiologi merupakan suatu ilmu yang berparadigma majemuk (a multiple paradigm science), karena mempunyai tiga paradigma, yaitu paradigma fakta sosial (social fact paradigm), paradigma definisi sosial (social definition paradigm), dan paradigma perilaku sosial (social behaviour paradigm). Ketiga paradigma dibedakan dalam tiga hal: 1) exemplar (acuan atau contoh yang dijadikan teladan); 2) teori; 3) metode. 
          Hasil pengelompokan paradigma menurut Ritzer, yang merupakan hubungan antara metode, teori dan paradigma Sosiologi, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :




No

Paradigma
Gambaran dasar pokok permasalahan

Teori

Metode

Eksemplar

1

FAKTA SOSIAL
Obyek :
·         Eksternal
·         Memaksa
·         Umum
·         Riil
STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN KONFLIK
Metode Survei dengan Kuesioner dan wawancara
EMILE DURKHEIM :
The Rules of Sociological Method, Suicide


2


DEFINISI SOSIAL
Subyek :
·         internal
·         bebas
·         khusus
·         TINDAKAN (Weber, Parsons),
·         INTERAKSIONISME SIMBOLIK (Weber, Mac Iver, Mead, Cooley, Thomas, Blumer)
·         SOSIOLOGI FENOMENOLOGI (Weber, Schutz, Garfinkel)
Pengamatan, verstehen
MAX WEBER : Tindakan Sosial

3

PERILAKU SOSIAL
Perilaku manusia deterministik : penghargaan dan hukuman
PERILAKU (Burgers & Bushell, Homans)
Eksperimen
B.F.SKINNER : Perilaku Sosial

            Durkheim membangun konsep fakta sosial yang kemudian diterapkannya dalam mempelajari gejala bunuh diri, dan dimaksudkan untuk memisahkan sosiologi dari arena psikologi dan filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial harus dinyatakan sebagai sesuatu yang berada diluar individu dan bersifat memaksa. Ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni : struktur sosial dan pranata sosial. Paradigma ini memandang tindakan individu sebagai tindakan yang ditentukan oleh norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial.
          Eksemplar paradigma definisi sosial adalah karya Max Weber tentang ’tindakan sosial’. Weber tertarik pada makna subyektif yang diberikan individu terhadap tindakan mereka, dan tidak tertarik untuk mempelajari fakta sosial yang bersifat makro seperti struktur sosial dan pranata sosial. Bagi Weber yang menjadi pokok persoalan sosiologi adalah proses pendefinisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Paradigma ini secara pasti memandang individu sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya sendiri, sementara struktur dan pranata sosial hanya merupakan kerangka tempat proses pendefinisian sosial dan proses interaksi berlangsung.
          Paradigma perilaku sosial menetapkan pokok persoalan sosiologi adalah perilaku atau tingkahlaku dan kemungkinan perulangannya, serta memusatkan perhatiannya kepada hubungan saling pengaruh antara individu dan lingkungannya, atau dengan kata lain tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan  faktor lingkungan. Pandangan ini lebih mengarahkan pendekatannya pada psikologi, dimana Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviourisme ke dalam sosiologi. Teori, gagasan, dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behaviour.
          Pengetahuan tentang adanya tiga paradigma ini tidak berkaitan dengan penganutan dalam mempelajari konsep-konsep dan teori-teori sosiologi. Para sosiolog hendaknya tidak mendewakan paradigma tertentu dan karena itu lalu mempertahankan kepentingannya. Paradigma, teori dan metode memang memiliki keterkaitan yang sangat pasti, dan sebaiknya dimanfaatkan untuk memahami kenyataan atau gejala sosial, bukan untuk maksud-maksud politis. Perbedaan dan multiparadigma yang dikemukakan hanyalah upaya untuk membuktikan bahwa luasnya ruang lingkup sosiologi dan keragaman pokok bahasan yang harus dipelajari, bukan muncul secara kebetulan, tanpa berpijak pada dasar pemikiran yang kuat. Perbedaan yang bersifat paradigmatis menimbulkan konsekuensi pada pokok bahasan, serta konsep dan teori yang melandasinya, yang kemudian diikuti oleh pemilihan atas metode yang digunakan untuk mendekati gejala yang diamati.
          Pada kenyataannya, sosiologi modern berkembang melampaui perbedaan-perbedaan ini. Berbagai komponen dalam masing-masing paradigma saling menyesuaikan diri ke arah hubungan yang harmonis. Eksemplar pada suatu paradigma tertentu mendapat pengakuan dari hampir semua orang. Keseluruhan pendekatan teoritis dalam masing-masing paradigma diakui sebagai persamaan yang mendasar, meskipun terdapat perbedaan dalam orientasi teoritis. Metode yang disukai oleh masing-masing paradigma jelas sekali saling terpaut dengan masing-masing paradigma. Menjadi jelas disini bahwa dalam mempelajari sosiologi dan melakukan pendekatan dengan menggunakan konsep-konsep sosiologi, seorang pelajar sosiologi harus memahami benar tentang keragaman konsep yang muncul, serta pendekatan-pendekatan yang nampaknya bertentangan, serta kemungkinan adanya perbedaan paradigma yang mungkin menjadi penyebabnya.
SUMBER BACAAN

Johnson, Doyle Paul,1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta :           Gramedia

Laeyendecker,L, 1983, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan : Suatu         Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta : Gramedia

Ritzer, George,1985, Sosiologi - Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali

Sunarto, Kamanto,2004, Pengantar Sosiologi, Jakarta: FEUI

Usman, Sunyoto, Sosiologi – Sejarah, Teori dan Metodologi,2004,          Yogyakarta: CIRED





MULTIPARADIGMA DALAM SOSIOLOGI
- Sebuah Pengantar -


OLEH : JHON HERMAN


PENDAHULUAN
          Beberapa pertanyaan akan muncul ketika kita hendak mempelajari serta memperdalam suatu ilmu. Pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah sosiologi itu? bagaimana latar belakang munculnya sosiologi sebagai sebuah ilmu? apa manfaat mempelajari sosiologi? akan mengganggu siapa saja yang baru pertama kali belajar sosiologi. Hal ini sangat mudah dipahami karena pemahaman masyarakat tentang sosiologi belum sejelas pemahaman masyarakat tentang disiplin-disiplin lain seperti ekonomi, hukum, fisika, atau kedokteran.    
          Munculnya sosiologi sebagai sebuah ilmu, selain merupakan hasil dari proses empiricall-historis, juga merupakan hasil dari proses perkembangan pemikiran filosofis. Fenomena empiris yang melatarbelakangi situasi sosial-politik di Eropa Barat pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-18 sangat mempengaruhi berkembangnya pemikiran-pemikiran sosiologis pada saat itu, dan menjadi landasan berpikir bagi pengembangan konsep serta teori pada masa-masa selanjutnya. Seiring dengan kondisi historis yang berubah, perkembangan pemikiran sosiologi didorong pula oleh munculnya pandangan-pandangan filosofis tentang positivisme, yaitu mencari penjelasan semua gejala alam dan sosial dengan mengacu pada deskripsi dan hukum ilmiah.
          Penjelasan yang bersifat historis dan filosofis, selanjutnya akan mengantarkan pada pemahaman tentang subject-matter atau pokok bahasan sosiologi yang membedakan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, dan dengan demikian akan memberikan jawaban tentang hakekat dari sosiologi. Kompleksitas permasalahan yang mendorong lahirnya pemikiran-pemikiran sosiologi telah memberikan sumbangan yang besar bagi keragaman cara pandang, sehingga sosiologi lalu dinyatakan sebagai ilmu dengan paradigma majemuk (’a multiple paradigm science’).

MUNCULNYA SOSIOLOGI SEBAGAI SEBUAH ILMU
          Menurut Berger dan Berger, pemikiran sosiologi berkembang ketika masyarakat menghadapi ’ancaman terhadap hal yang selama ini dianggap benar dan seharusnya, yang menjadi pegangan manusia’ (threats to the taken-for-granted world). Maksudnya yaitu, suatu keadaan masyarakat dimana tatanan sosial (’social order’) yang diyakini oleh sebagian besar anggota masyarakat terancam oleh berbagai bentuk perubahan.
          Sampai abad ke-18 Eropa Barat didominasi oleh sistem feodalisme yang sangat elitis dan mapan. Perkembangan yang terjadi kemudian, mengikuti tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, adalah munculnya kesadaran bahwa dominasi feodalisme sangat menghambat perkembangan kelompok intelektual serta kelas menengah. Bangkitnya kelas menengah mewarnai sebuah proses perubahan jangka panjang, seperti tumbuhnya kapitalisme, perubahan-perubahan sosial dan politik, meningkatnya individualisme, serta lahirnya ilmu pengetahuan modern.  Dua revolusi penting pada abad ke-18, yang bisa diidentifikasi ialah (1) Revolusi Industri, (2) Revolusi Perancis (Laeyendecker, 1983:11-43).
          Gejolak sosial dan politik yang terjadi pada masa itu telah menggoncang masyarakat Eropa, serta menggoyahkan tatanan sosial yang lama mapan. Faktor ini merupakan penyebab utama mengapa pemikiran sosiologi mulai berkembang secara serentak di beberapa negara Eropa (Inggris, Perancis, Jerman), dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, yaitu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Pada masa-masa inilah peran para tokoh sosiologi klasik berawal.
          Terganggunya tatanan sosial serta perubahan-perubahan mendasar pada tataran suprastruktur mendorong para pemikir dan intelektual pada saat itu untuk mencari jawaban-jawaban yang rasional, serta menemukan formula yang mampu menguraikan semua gejala sosial yang muncul. Lahirlah kemudian pemikiran-pemikiran cemerlang tentang masyarakat, perubahan sosial serta konflik sosial dari tokoh-tokoh seperti, Auguste Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903), Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920). Mereka ini kemudian diakui oleh para tokoh sosiologi abad 20 (tokoh sosiologi modern) sebagai perintis awal serta peletak dasar pemikiran sosiologi, sebagai ’the founding fathers’, dan oleh Lewis Coser dianggap sebagai ’masters of sociological thought’, yang memberikan sumbangan penting bagi lahir dan berkembangnya sosiologi sebagai sebuah ilmu.
          Nama ”sosiologi” merupakan ciptaan Auguste Comte. Pemikiran filsafat Comte memberikan sumbangan penting bagi sosiologi, dan mendorong perkembangan sosiologi. Pemikiran filosofis Comte ini diutarakan dalam bukunya yang terkenal : ’Course de Philosophie Positive’. Dalam buku ini mengemukakan pandangannya mengenai hukum kemajuan manusia dan masyarakat yang melewati tiga tahap atau jenjang. Tahap pertama adalah teologi, yaitu manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan mengacu pada hal-hal yang bersifat adikodrati atau supranatural. Tahap kedua adalah metafisika, yaitu manusia mengacu pada kekuatan metafisik atau abstrak. Pada tahap ketiga, atau yang tertinggi, adalah tahap positif, yaitu manusia mencari penjelasan gejala alam maupun sosial dengan mangacu pada deskripsi ilmiah.    
          Positivisme atau filsafat positif inilah yang menjadi landasan filsafat bagi munculnya sosiologi pada masa itu. Karena memperkenalkan metode positif ini maka Comte dikenal sebagai perintis positivisme. Pada pandangan Comte, sosiologi harus merupakan ilmu yang sama ilmiahnya dengan ilmu pengetahuan alam yang mendahuluinya. Dengan kata lain sosiologi harus menjadi sebuah ilmu yang positif. Ciri metode positif atau metode yang mendasarkan pada cara berpikir ilmiah, adalah bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus bermanfaat, serta mengarah pada kepastian dan kecermatan. Sarana yang menurut Comte harus digunakan dalam metode positif adalah :1) pengamatan, 2) perbandingan, 3) eksperimen, 4) metode historis. Penjelasan-penjelasan tentang hubungan antar manusia atau gejala-gejala masyarakat harus melalui rasionalisasi yang positif. Kegiatan kajian sosiologi yang tidak menggunakan metode pengamatan, perbandingan, eksperimen, ataupun historis bukanlah merupakan kajian ilmiah melainkan hanya renungan atau permainan ide belaka.
          Auguste Comte memang mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat positifnya, sebagai orang pertama yang mengusulkan nama ’sosiologi’ untuk keseluruhan pengetahuan manusia tentang kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, Emile Durkheim menempati posisi yang sangat penting dalam mengembangkan sosiologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Peranan Durkheim yang terpenting adalah pada usahanya dalam merumuskan obyek studi sosiologi, dan memberikan rumusan-rumusan penting dalam metode untuk mendekati dan mengamati obyek studi.
          Pandangan Comte yang masih abstrak tentang filsafat positif kemudian diperjelas dan dikuatkan oleh Durkheim dengan meletakkan sosiologi di atas dunia empiris. Dua karyanya yang besar dan berpengaruh adalah Suicide (1968) dan The Rule of Sociological Method (1965). Suicide adalah hasil karya Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empiris terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial. Melalui karya ini Durkheim menegaskan bahwa obyek studi sosiologi adalah fakta sosial (social fact), yang untuk memahaminya diperlukan suatu kegiatan penelitian empiris, sama halnya dengan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan The Rule of Sociological Method berintikan konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian empiris dalam lapangan sosiologi.

POKOK BAHASAN DALAM SOSIOLOGI
          Setelah memahami peran tokoh-tokoh perintis sosiologi didalam membangun pemikiran-pemikiran ilmiah tentang masyarakat, dan memahami  keberadaan sosiologi sebagai sebuah ilmu, maka seorang pelajar sosiologi mutlak dituntut pula untuk membangun pemahaman tentang ruang lingkup serta pokok bahasan sosiologi.
          Istilah sosiologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani socius (kawan) dan logos (ilmu), lalu dinyatakan bahwa obyek formal sosiologi adalah hubungan antar orang. Dalam kaitan dengan ini, sosiologi kemudian mempelajari pelbagai bentuk relasi sosial yang mempengaruhi tindakan manusia. Dalam banyak literatur, istilah sosiologi didefinisikan hanya dengan rumusan kalimat yang pendek, sehingga kurang dimengerti bagi orang yang baru mempelajarinya, atau dengan uraian yang sangat panjang sehingga substansinya menjadi sulit dirumuskan.
          Pengertian sosiologi sering juga dikacaukan dengan pekerjaan sosial (social worker). Banyak orang tertarik belajar sosiologi karena mereka ingin tahu banyak tentang masyarakat. Mereka ingin bekerja untuk masyarakat, ingin membantu memecahkan persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat atau terjun dalam suatu profesi khusus yang lazim disebut pekerja sosial. Sebenarnya sosiologi tidak dapat secara langsung menjawab kebutuhan-kebutuhan semacam itu, dalam arti tidak mempersiapkan secara khusus profesi sebagai penyuluh atau counselling, atau membantu memecahkan persoalan-persoalan pribadi. Namun demikian bukan berarti sosiologi tidak mempunyai kontribusi dalam usaha memecahkan persoalan-persoalan semacam itu. Sosiologi telah membangun banyak teori yang berpijak pada asumsi-asumsi dasar dan perspektif tertentu, serta memiliki metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat evaluasi, interpretasi dan bahkan juga prediksi.
          Perhatian sosiologi terhadap fenomena sosial yang terjadi tidak semata-mata membuat deskripsi, atau merentang perbedaan dan persamaan karakteristik fenomena sosial yang berkembang, akan tetapi juga memperlihatkan tendensi-tendensi atau kecenderungan-kecenderungan yang terjadi. Sosiologi mampu menerangkan dan menafsirkan apa yang ada di balik fenomena sosial tersebut berdasarkan teori atau penelitian, dan tidak memberikan penilaian berdasarkan baik dan buruk pada sebuah tindakan sosial. Sehingga, tindakan sosial tertentu yang bagi orang awam terasa aneh, tidak wajar atau menyimpang, melalui sosiologi dapat menjadi sesuatu yang menarik, dan dapat ditelusuri pangkal-tolak kemunculannya dengan menggunakan berbagai sudut pandang. Hal ini merupakan bukti obyektivitas  sosiologi sebagai sebuah ilmu.
          Secara formal tentunya tetap dibutuhkan sebuah definisi yang komprehensif tentang apa yang menjadi pokok bahasan dalam sosiologi. Beberapa contoh definisi sosiologi adalah, kajian ilmiah tentang man’s social life (kehidupan sosial), atau tentang human relationships and their consequences (hubungan antar orang dan konsekuensi-konsekuensinya), dan juga tentang social behaviour (tindakan sosial). Tentunya semua definisi ini benar adanya, namun kerapkali dianggap  kurang rinci dan masih belum mampu membedakan sosiologi dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Tidak mudahnya menarik definisi sebuah disiplin ilmu kemasyarakatan, dalam hal ini sosiologi, bisa dipahami karena, pertama, apa yang ditangkap dan dikonstruksi oleh seorang ahli tentang disiplin tersebut sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan fokus perhatiannya ketika itu; yang kedua, begitu banyaknya faktor yang berperan dan berubah pada masalah sosial yang tumbuh dalam masyarakat sehingga orientasi pokok kajian sebuah disiplin menjadi sulit diselaraskan.
          Water dan Crook menyatakan (Sunyoto Usman, 2004:hal 6-7) bahwa : “Sociology is the systematic analysis of the structure of social behaviour” (sosiologi adalah analisis yang sistematis tentang struktur tindakan sosial). Dalam definisi ini terdapat sedikitnya empat elemen penting. Pertama, pokok kajian adalah tindakan sosial, dan bukan tindakan individual. Tindakan sosial berarti tindakan yang diorientasikan pada orang lain, mempunyai konsekuensi bagi orang lain, atau merupakan akibat dari tindakan orang lain (ada hubungan timbal balik). Kedua, tindakan sosial yang dipelajari adalah tindakan yang berstruktur. Struktur disini berarti pola atau regulasi. Oleh karena itu analisis sosiologi dapat mengidentifikasi akar, proses, dan implikasi dari tindakan sosial yang diamati. Dalam konteks ini, sosiologi bukanlah semata-mata memberikan penjelasan deskriptif, tetapi berusaha memahami kaitan antara elemen-elemen tindakan sosial. Ketiga, penjelasan sosiologi bersifat analitis. Ini berarti bahwa dalam menjelaskan tindakan sosial, sosiologi berlandaskan pada prinsip-prinsip teori dan metodologi penelitian tertentu (scientific thought), dan bukan berdasarkan konsensus-konsensus yang hanya berlaku khusus (common sense). Keempat, penjelasan sosiologi adalah sistematis, artinya dalam memahami tindakan sosial sosiologi menempatkan diri sebagai disiplin yang mengikuti aturan-aturan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
          Beberapa diskusi mengenai pokok bahasan sosiologi memberi gambaran bahwa ternyata cakupan dan ruang lingkup perhatian sosiologi cukup luas, meliputi mikrososiologi dan makrososiologi (menurut Inkeles, dalam Kamanto Sunarto:2004,hal.18-21). Mikrososiologi disebut juga sebagai ’the sociology of everyday life situation’, atau sosiologi kehidupan sehari-hari, yang mengkhususkan diri pada fenomena antar individu disaat mereka berinteraksi tatap muka, bertindak dan berkomunikasi. Sedangkan makrososiologi disebut sebagai the ’sociology of social structures’ atau sosiologi struktur sosial, yang mempelajari masyarakat secara keseluruhan serta hubungan antar bagian dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang melebihi kumpulan individu yang membentuknya. Diantara mikrososiologi dan makrososiologi, ada lingkup pokok bahasan yang disebut mesososiologi yang lebih menekankan pada institusi sosial. Dengan demikian Alex Inkeles menyatakan bahwa sosiologi memiliki tiga pokok bahasan yang khas, yaitu hubungan sosial, institusi, dan masyarakat.
         
MEMAHAMI PARADIGMA DALAM SOSIOLOGI
          Mempelajari pokok kajian sosiologi tidaklah lengkap jika   mengabaikan sebuah konsep yang disebut sebagai paradigma. Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (paradigm) pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962). Karya Thomas Kuhn menempati posisi sentral ditengah-tengah perkembangan sosiologi selama kurang lebih dua dekade terakhir ini. Melalui karyanya, Kuhn menawarkan suatu cara yang bermanfaat kepada para sosiolog untuk mempelajari ilmu mereka.
          Robert Friedrichs adalah orang pertama yang mencoba merumuskan pengertian paradigma itu secara lebih jelas. Dalam upayanya menganalisa perkembangan sosiologi, ia merumuskan paradigma sebagai ”a fundamental image of the subject matter within a science” (Ritzer, 1985:7), yaitu “gambaran dasar mengenai pokok bahasan suatu ilmu”. George Ritzer mensintesakan pengertian semua pandangan tentang paradigma, dan merumuskannya secara lebih terrinci. Penjelasan Ritzer tentang paradigma : “…serves to define what should be studied, what questions should be asked, how they should be asked, and what rules should be followed in interpreting the answers obtained…”, yaitu paradigma menentukan masalah apa yang akan diteliti, pertanyaan penelitian yang akan diajukannya, caranya mengajukan pertanyaan penelitian, dan aturan yang diikutinya dalam menafsirkan temuan penelitiannya.
          Lebih lengkapnya, definisi paradigma menurut Ritzer, adalah sebagai berikut ”Suatu paradigma merupakan suatu gambaran fundamental mengenai pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma membantu memberikan definisi apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh”. Paradigma merupakan satuan konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan, mendefinisikan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi tentang paradigma : (a) gambaran fundamental mengenai pokok permasalahan; (b) metode/instrumen yang mencakup teknik bertanya dan cara menginterpretasi data yang diperoleh; (c) teori yang mencakup interpretasi; (d) eksemplar; (e) komunitas atau subkomunitas ilmiah.
          Mengapa gambaran fundamental mengenai pokok permasalahan dalam sosiologi merupakan komponen yang harus ada dalam satu paradigma?. Gambaran fundamental dalam hal ini sama artinya dengan hakekat pokok atau mengenai apa permasalahan itu. Kalau masyarakat atau individu atau hubungan antara individu dan masyarakat itu yang menjadi pokok permasalahan dalam sosiologi, apa hakekatnya. Kalau hakekat masyarakat itu adalah obyek, seperti benda alam, sangat berbeda daripada kalau hakekatnya adalah subyek. Konsekuensi dari perbedaan itu akan mempengaruhi seluruh kegiatan ilmiah pembentukan teori sosiologi.
          Jika masyarakat dilihat sebagai obyek, seperti halnya obyek dalam ilmu alam, maka perbedaan antara satu obyek dengan obyek lainnya yang berada dalam kategori yang sama tidak ada. Karena tidak ada perbedaan hakiki, maka metode sampling dalam penelitian dapat digunakan, dan hasilnya sahih (valid) serta terpercaya (reliable) dalam generalisasinya. Karena itu pula teori yang dihasilkan penelitian seperti ini amat luas cakupan generalisasinya. Sebaliknya, apabila hakekat pokok permasalahan sosiologi adalah subyek, maka konsekuensinya akan berlainan pula. Perbedaan antara individu sangat diperhitungkan. Individu merupakan subyek yang otonom menentukan apa yang dikerjakannya, memiliki perasaan dan jalan pikirannya sendiri, dan tidak begitu saja tunduk pada individu lain.
          Dalam sejarah perkembangan sosiologi atau ilmu sosial, sekurang-kurangnya seperti apa yang dimaksudkan Ritzer dalam penjelasannya mengenai paradigma, sudah ada sejumlah contoh penelitian yang memiliki standar baku, sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab teka-teki ilmu pengetahuan yang oleh Thomas Kuhn disebut sebagai eksemplar. Eksemplar yang diambil oleh Ritzer berasal dari karya Emile Durkheim, Max Weber dan B.F.Skinner.
          Sosiologi merupakan suatu ilmu yang berparadigma majemuk (a multiple paradigm science), karena mempunyai tiga paradigma, yaitu paradigma fakta sosial (social fact paradigm), paradigma definisi sosial (social definition paradigm), dan paradigma perilaku sosial (social behaviour paradigm). Ketiga paradigma dibedakan dalam tiga hal: 1) exemplar (acuan atau contoh yang dijadikan teladan); 2) teori; 3) metode. 
          Hasil pengelompokan paradigma menurut Ritzer, yang merupakan hubungan antara metode, teori dan paradigma Sosiologi, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :




No

Paradigma
Gambaran dasar pokok permasalahan

Teori

Metode

Eksemplar

1

FAKTA SOSIAL
Obyek :
·         Eksternal
·         Memaksa
·         Umum
·         Riil
STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN KONFLIK
Metode Survei dengan Kuesioner dan wawancara
EMILE DURKHEIM :
The Rules of Sociological Method, Suicide


2


DEFINISI SOSIAL
Subyek :
·         internal
·         bebas
·         khusus
·         TINDAKAN (Weber, Parsons),
·         INTERAKSIONISME SIMBOLIK (Weber, Mac Iver, Mead, Cooley, Thomas, Blumer)
·         SOSIOLOGI FENOMENOLOGI (Weber, Schutz, Garfinkel)
Pengamatan, verstehen
MAX WEBER : Tindakan Sosial

3

PERILAKU SOSIAL
Perilaku manusia deterministik : penghargaan dan hukuman
PERILAKU (Burgers & Bushell, Homans)
Eksperimen
B.F.SKINNER : Perilaku Sosial

            Durkheim membangun konsep fakta sosial yang kemudian diterapkannya dalam mempelajari gejala bunuh diri, dan dimaksudkan untuk memisahkan sosiologi dari arena psikologi dan filsafat. Menurut Durkheim, fakta sosial harus dinyatakan sebagai sesuatu yang berada diluar individu dan bersifat memaksa. Ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni : struktur sosial dan pranata sosial. Paradigma ini memandang tindakan individu sebagai tindakan yang ditentukan oleh norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial.
          Eksemplar paradigma definisi sosial adalah karya Max Weber tentang ’tindakan sosial’. Weber tertarik pada makna subyektif yang diberikan individu terhadap tindakan mereka, dan tidak tertarik untuk mempelajari fakta sosial yang bersifat makro seperti struktur sosial dan pranata sosial. Bagi Weber yang menjadi pokok persoalan sosiologi adalah proses pendefinisian sosial dan akibat-akibat dari suatu aksi serta interaksi sosial. Paradigma ini secara pasti memandang individu sebagai orang yang aktif menciptakan kehidupan sosialnya sendiri, sementara struktur dan pranata sosial hanya merupakan kerangka tempat proses pendefinisian sosial dan proses interaksi berlangsung.
          Paradigma perilaku sosial menetapkan pokok persoalan sosiologi adalah perilaku atau tingkahlaku dan kemungkinan perulangannya, serta memusatkan perhatiannya kepada hubungan saling pengaruh antara individu dan lingkungannya, atau dengan kata lain tingkahlaku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan  faktor lingkungan. Pandangan ini lebih mengarahkan pendekatannya pada psikologi, dimana Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviourisme ke dalam sosiologi. Teori, gagasan, dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behaviour.
          Pengetahuan tentang adanya tiga paradigma ini tidak berkaitan dengan penganutan dalam mempelajari konsep-konsep dan teori-teori sosiologi. Para sosiolog hendaknya tidak mendewakan paradigma tertentu dan karena itu lalu mempertahankan kepentingannya. Paradigma, teori dan metode memang memiliki keterkaitan yang sangat pasti, dan sebaiknya dimanfaatkan untuk memahami kenyataan atau gejala sosial, bukan untuk maksud-maksud politis. Perbedaan dan multiparadigma yang dikemukakan hanyalah upaya untuk membuktikan bahwa luasnya ruang lingkup sosiologi dan keragaman pokok bahasan yang harus dipelajari, bukan muncul secara kebetulan, tanpa berpijak pada dasar pemikiran yang kuat. Perbedaan yang bersifat paradigmatis menimbulkan konsekuensi pada pokok bahasan, serta konsep dan teori yang melandasinya, yang kemudian diikuti oleh pemilihan atas metode yang digunakan untuk mendekati gejala yang diamati.
          Pada kenyataannya, sosiologi modern berkembang melampaui perbedaan-perbedaan ini. Berbagai komponen dalam masing-masing paradigma saling menyesuaikan diri ke arah hubungan yang harmonis. Eksemplar pada suatu paradigma tertentu mendapat pengakuan dari hampir semua orang. Keseluruhan pendekatan teoritis dalam masing-masing paradigma diakui sebagai persamaan yang mendasar, meskipun terdapat perbedaan dalam orientasi teoritis. Metode yang disukai oleh masing-masing paradigma jelas sekali saling terpaut dengan masing-masing paradigma. Menjadi jelas disini bahwa dalam mempelajari sosiologi dan melakukan pendekatan dengan menggunakan konsep-konsep sosiologi, seorang pelajar sosiologi harus memahami benar tentang keragaman konsep yang muncul, serta pendekatan-pendekatan yang nampaknya bertentangan, serta kemungkinan adanya perbedaan paradigma yang mungkin menjadi penyebabnya.
SUMBER BACAAN

Johnson, Doyle Paul,1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta :           Gramedia

Laeyendecker,L, 1983, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan : Suatu         Pengantar Sejarah Sosiologi, Jakarta : Gramedia

Ritzer, George,1985, Sosiologi - Ilmu Berparadigma Ganda, Jakarta : Rajawali

Sunarto, Kamanto,2004, Pengantar Sosiologi, Jakarta: FEUI

Usman, Sunyoto, Sosiologi – Sejarah, Teori dan Metodologi,2004,          Yogyakarta: CIRED